Jumat, 04 Februari 2011

Ihsanul Azzam Muttaqin

Ihsanul Azzam Muttaqin namanya. Lahir di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1999. Hobinya bermain komputer, dan cita-citanya adalah menjadi dokter. Alasannya, Azzam ingin menolong orang lain yang membutuhkan bantuannya.

Azzam yang menyukai warna merah, kuning, jingga, hijau, dan biru ini seperti yang lainnya, ingin bersekolah di SMPIT Ummul Quro Bogor.

"6C itu seru, kocak, dan ramai," sahut si pemenang tahfidzh kelas ini.

"Azzam itu nggak comel," komentar Fikri.
"Anaknya baik," komentar Nevan.
"Lumayan baik," komentar Faishal.
"Anaknya baik, lucu, dan pintar," komentar Ian.

Baiklah, kita sudahi dulu tentang si pintar berkacamata ini. Back to Diary 6C!

Pak Muslim sudah ada di dalam kelas 6C sebelum bel masuk berbunyi. Kini, beliau tengah duduk di bangku guru sembari membolak-balik buku paket IPA. Mempersiapkan materi yang akan disampaikan kepada anak didiknya tersayang.

Teeet!
10 menit kemudian, bel berbunyi. Dengan segera, 6C berbaris di depan kelas.
"Siaaap, gerak!" Hanifah memimpin barisan itu dengan penuh semangat.

Tak lama kemudian, rentetan barisan yang rapi itu hancur. Mereka berdesak-desakan masuk ke dalam kelas. Maklum, namanya juga kelas rusuh.

Usai berdoa, Fikri datang. Fikri masuk ke dalam kelas dengan tatapan tak bersalah, seolah-olah dialah anak yang paling sering terlambat, dan keterlambatannya itu sudah dianggap biasa. Namun, tidak untuk Pak Muslim. Pak Muslim dengan segera meminta agar Fikri meminta maaf kepada teman-teman sekelasnya. Dengan wajah polos tanpa ekspresi, dia pun meminta maaf kepada 6C. Dan 6C tentu saja memberinya maaf.

"Saat TO kemarin, Bapak kecewa sekali," Pak Muslim menyampaikan perasaannya.
6C hanya terdiam. Memang, Pak Muslim sudah sering sekali kecewa dengan kelas yang ceria itu.
"TOnya kalian dikerjakan asal jadi saja," lanjutnya.
6C masih terdiam. Tak berani berkata-kata.
"Kalau besok UASBN, mengerjakannya jangan asal-asalan, ya," nasihat Pak Muslim kemudian.
"Hah? UASBNnya besok, Pak?" tanya Ghina. Raut wajahnya menampakkan kekagetannya.
"Hahaha."

"Kalian itu di rumah mengerjakan apa saja, sih? Sampai belajar saja tidak ada waktu. Memangnya kalian disuruh bekerja mencari nafkah, oleh orangtua kalian?" tanya Pak Muslim. Kata-katanya memang tajam. Tapi nada suaranya bukan nada suara marah.
6C menggeleng.
"Anak-anak lain yang disuruh mencari nafkah oleh orangtua mereka saja, masih bisa berprestasi," Pak Muslim menceritakan keadaan anak-anak di kalangan orang yang kurang mampu.
"Kalau begitu, kita harus bekerja mencari nafkah, Pak? Lagi pula anak-anak itu tidak selalu berprestasi. Kadang-kadang doang, kan?" tanya Kiki berani.
Pak Muslim tidak bisa menjawab.

"Ya, pokoknya kalian belajar yang giat saja, lah. Berikan yang terbaik untuk orang tua kalian, sebelum orangtua kalian itu pergi untuk selama-lamanya," kata Pak Muslim mengakhiri nasihatnya.
"Maksud Bapak pergi untuk selama-lamanya itu, mati, Pak?" tanya Kiki lagi.
"Kamu kira apa?" tanya Pak Muslim balik.
"Hahaha."

Setelah itu, Pak Muslim masuk ke dalam materi untuk hari itu. Beliau membagikan sebuah lampu kecil dan kabel ke setiap anak didiknya. Materi hari ini adalah, mengetes benda. Apakah benda itu isolator, atau malah sebaliknya, konduktor. Ya, jika lampu menyala, itu membuktikan bahwa benda yang disambungkan dengan kabel itu konduktor. Dan jika lampu tidak menyala, itu membuktikan bahwa benda yang disambungkan dengan kabel itu isolator.

Tepat jam 9, Pak Muslim keluar kelas. Beliau sudah selesai urusannya dengan 6C. Kemudian, Bu Nia masuk. Beliau siap mengajar Matematika.
"Bagaimana TO kemarin? Susah?" tanya Bu Nia.
"SUSAH BANGET!" teriak 6C.
"Setuju, bahkan menurut Bu Nia saja, soal TO kemarin itu L-B-Y," kata Bu Nia.

"Bu Nia mau bercerita sedikit. Tentang sebuah pantai...," omongan Bu Nia terputus.
"Ahh, nggak seru lagi. Sudah tahu ceritanya lewat 6A Semangat," kata Husna.
"Makanya, jangan baca 6A Semangat dulu, nanti nggak seru," kata seseorang.

"Jadi, nahkoda yang tangguh, adalah nahkoda yang sudah sering menghadapi badai. Begitu juga dengan kalian, rajin-rajinlah kalian mengerjakan soal-soal UASBN tahun-tahun sebelumnya. Supaya kalian bisa seperti nahkoda itu," pesan Bu Nia di akhir cerita.
6C manggut-manggut.

Setelah bercerita, 6C mengerjakan soal dari Bu Nia. Soal itu adalah soal yang berkaitan dengan luas lingkaran ditambah luas segi banyak. Setelah 6C selesai akan tugasnya, ikhwan segera bergegas pergi ke masjid untuk sholat Jumat. Sementara akhwat tinggal di kelas untuk Keputrian.

Saat akhwat keputrian dengan Bu Dewi, akhwat 6C dapat banyak sekali cerita-cerita yang garing-garing, aneh-aneh, kocak-kocak, nggak masuk akal, sampai yang dapat memotivasi mereka.

Setelah sholat Dzuhur dan makan siang, Bu Nia kembali masuk ke dalam kelas 6C. Kembali ke Matematikanya. Namun berbeda jenis. Yaitu Bimbel Matematika (reguler).
"Kalian sudah mengerjakan PR di halaman 114 sampai halaman 117, kan?" tanya Bu Nia.
Beberapa anak mengaku belum mengerjakannya.
"Kenapa? Lupa? Atau nggak tahu?" tanya Bu Nia.
"Lupa."
"Nggak tahu."
"Baik, kita koreksi bersama PR kalian itu, ya. Yang tidak mengerjakan, harap menyimak," kata Bu Nia.

Bu Nia dengan 6C pun, asyik membedah soal-soal itu.
"Nomor 8, kok nggak masuk akal, ya?" tanya Bu Nia.
"Nomor 14 juga, bunganya dijual mahal banget," komentar Bu Nia.

Ditengah pelajaran, konsentrasi 6C buyar. Mereka mulai tidak memperhatikan Bu Nia dan asyik dengan kegiatannya masing-masing.
"Bu Nia bingung, deh, sama anak kelas 6. Katanya nggak ngerti. Eh, pas dijelasin, kok malah ribut sendiri. Sudah gitu, waktu ditanyain, nggak bisa jawab. Bu Nia...," omongan Bu Nia terhenti.
"Eh, iya, Bu. Tapi Bu Anisnya lagi di kantor. Apa? Oh, kantornya ada di sana. Iya, Bu, sama-sama," Bu Nia kedatangan tamu, seorang orangtua murid.
"Baik, kita lanjutkan, ya? Terserah kalian mau memperhatikan atau tidak. Itu pilihan kalian sendiri," kata Bu Nia setelah tamu itu berlalu.

Usai Bimbel Matematika (reguler), Bimbel IPS (reguler) dengan Bu Anis.
Bu Anis memberi tugas mengerjakan modul 1 IPS. Tapi beliau tampak tidak tenang. Berkali-kali beliau keluar-masuk kelas.
"Aduh, Bu Anis pusing nih, mengurus 2 kelas. Kelas 6B dan kelas 6C," kata Bu Anis.
"Dibuka saja Bu, papannya," saran seseorang.
"Benar juga," kata Bu Anis.
Salsa, Kiki, dan Aris pun membantu Bu Anis. Mereka mendorong papan tulis. Kemudian mendorong papan penghubung antara 6B dan 6C.
"Halo, 6B yang sigap!" sapa 6C yang ceria.
"Halo juga, 6C yang ceria!" 6B yang sigap itu menyapa balik.

Setelah Bimbel IPS (reguler), Bahasa Indonesia. Masih tetap dengan Bu Anis.
Materi Bahasa Indonesia kali ini adalah bermain peran atau drama. 6C segera membuat kelompok.
"Buat drama musikal, yuk?"
"Ihh, durasi dramanya berapa lama?"
"Propertinya siapa yang buat?"
"Siapa yang jadi antagonisnya?"
Setelah itu, mereka sibuk mendiskusikan, segala keperluan lain dan apa-apa yang akan mereka tampilkan, sebelum mereka sholat Ashar berjamaah di masjid.

Oh, iya. Ada yang mau dapat nilai A+ atau 100 untuk UASBN? Syaratnya, komentar disini, dong. Terus, jangan lupa terus berusaha dan terus berdoa. Hehehe...

1 komentar:

Berikan saran, kritik, dan komentar kamu tentang Diary 6C! Segala pesan yang kamu berikan sangat berarti bagi kami.