Selasa, 01 Maret 2011

Merajut Pelangi

"Apa yang kita alami demi teman, kadang-kadang memang sangat melelahkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai nilai yang indah," kata Hanifah pada suatu hari.
"Persahabatan juga sering menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi persahabatan sejati bisa mengatasi itu, bahkan bertumbuh bersama karenanya," lanjut Husna.
Kemudian 6C berangkulan bersama. Mereka terlihat sangat menikmati detik-detik terakhir persahabatan mereka sebelum mereka dipisahkan oleh waktu. Mereka saling berusaha untuk merajut pelangi terakhir mereka, untuk kenangan indah di masa depan. Kenangan dari masa SD yang tak akan terlupakan.

Pada hari Selasa yang cerah ini, Kalista sudah bisa bergabung dengan 6C setelah kemarin absen. Kalista tampak sangat bersemangat sekali hari ini. Dan itu membuat teman-teman yang lain ikut bersemangat. Tapi..., kok diluar sepertinya rusuh, ya?
"Ikhwan, mundur!" teriak Ghina keras sekali.
"Aduh," Ian menutup telinganya sembari mundur beberapa langkah, tapi kemudian maju lagi.
"Yahh, dia maju lagi," Ghina mengeluh kecewa.

Ya, berbaris formasi baru ala 6C yang rusuh. Akhwat berbaris di depan. Tapi 3 baris. Sementara ikhwan berbaris di belakang. 1 baris. Nah, kacau. Ikhwan mulai memberontak. Aksi saling dorong pun terjadi.
"BURUAN!" teriak Nevan menyerobot barisan akhwat.
"Sabar! Belum selesai baca, nih! Aku bersaksi bahwa...," teriak Zira sambil membaca ikrar.
Nevan memang tak kenal menyerah. Dengan sekuat tenaga, dia mendorong akhwat yang menghambat pintu. Dan akhirnya, berkat jerih payahnya, kerumunan akhwat itu pun jebol.
"Hahaha."

Pak Yuhdi datang 2 menit setelahnya.
"Waduh, gawat," kata Dinda menggigit bibirnya.
6C langsung pura-pura merapikan barisannya. Tapi tak ulung lagi, tawa pun pecah disana.
"Hahaha."

Usai berbaris, berdoa, dan murajaah surat Al-Buruj, Pak Yuhdi menugaskan kepada 6C untuk merobek kertas dari buku.
"Sedikit saja, nggak usah besar-besar," kata Pak Yuhdi setelah melihat kertas milik Syamila yang lumayan besar.
Syamila pun akhirnya merobek lagi kertas tersebut menjadi lebih kecil dari sebelumnya.

"Buat apa sih, Pak?" tanya Halimah.
"Dengarkan dulu. Nah, sekarang tulislah di kertas itu, sifat orang yang kalian sukai," kata Pak Yuhdi. Kemudian beribu pertanyaan pun terlontar.
"Pak, pakai nama orangnya, nggak?"
"Lebih dari 1 sifat boleh, nggak?"
"Harus sifat orang atau sifat yang kita mau?"
"Pakai pulpen boleh?"
"Nama kita ditulis, nggak?"
Rusuh. Tapi Pak Yuhdi segera menyudahi kerusuhan tersebut dengan sabar, tetapi tetap tegas dan bijaksana.

Setelah selesai, 6C pun mengumpulkan kertas masing-masing. Kemudian Pak Yuhdi membacakannya di depan kelas.
"Siapa yang mau punya teman yang jujur?" tanya beliau.
99% anak disana mengangkat tangannya.
"Wah, kalau punya teman yang jujur, nanti kamu dibilang 'kamu jelek amat, sih?' sama dia," kata Pak Yuhdi.
"Itu namanya bukan jujur, Pak. Tapi...," Ghina berusaha memancing teman-temannya.
"TERLALU JUJUR!" teriak 6C bersamaan.
"Hahaha."

Bel berbunyi. T2Q, kemudian Bimbel Bahasa Indonesia (reguler).
"Untuk TO pekan depan, minimal nilainya 80, ya?" tanya Bu Anis.
6C diam. Merasa... Ragu?
"Siap, nggak?" tanya Bu Anis yang heran melihat sikap 6C.
"Siap, Bu," jawab 6C sekenanya.
"Baik, sekarang buka buku Detik-Detik UASBNnya halaman...," Bu Anis pun membimbing jam pelajaran itu hingga selesai.

Setelah istirahat, Matematika.
"Teman-teman masih ingat, hari Jumat pulang siang, ya," kata Bu Nia.
"Aku bingung, Bu. Naik apa, kan nggak ada jemputan," keluh Zira.
"Naik becak, saja!" tiba-tiba Nevan menyeletuk keras.
"Hahaha."

"Ini, Bu Nia adakan quiz, ya. Tapi soalnya mutar, dari kelompok ini, ke kelompok ini, begitu seterusnya," kata Bu Nia memberitahukan tata cara permainan (yang sambil belajar) tersebut.
"Bu, ini Matematika atau Bimbel Matematika, sih?" tanya Husna dengan nada memprotes.
"Matematika, tapi Bu Nia masukkan ke Bimbel Matematika. Soalnya mau difokuskan kepada TO nanti," jelas Bu Nia.
6C manggut-manggut tanda mengerti.

Usai quiz tersebut.
"Alhamdulillah, dapat 100!" sorak Zira dan kelompoknya.
"Hahaha."

Mentoring.
"Yah, di kelas, bukan perkelompok, Na," desah Ghina kecewa.
"Iya, padahal lebih kocak perkelompok," Husna ikut kecewa.

Usai Mentoring bersama Pak Yuhdi, PAI dimulai. Kelas kosong. Pak Yuhdi sudah meninggalkan kelas tersebut sejak 5 menit yang lalu. Sementara Pak Muslim belum datang. Lantas, dimana anak-anak 6C yang rusuh itu?

Hahaha, rupanya mereka kabur. Ada yang kabur ke kamar mandi, kabur mengisi minum, bahkan ada yang kabur sengaja. Ya, sengaja. Mereka semua berusaha menghindari pelajaran PAI, pelajarannya Pak Muslim.

Pak Muslim memasuki kelas.
"Kok kosong?" tanya Pak Muslim dengan logat Jawanya. Tak ada jawaban. Jelas, kan tidak ada orang.
Kemudian Pak Muslim hanya duduk. Menunggu. Menunggu. Menunggu.
"Zzz," tertidur.
"Hahaha."

6C tiba-tiba datang. Mereka cengengesan.
"Hah?" Pak Muslim terbangun dari tidurnya. Kemudian mengucek-ucek matanya.
"Kalian habis dari mana?" tanya Pak Muslim heran.
"Dari kabur, Pak," jawab Nia jujur.
"Hahaha."

Pak Muslim tetap sabar. Beliau pun mengajar. 30 menit terbuang sia-sia karena ulah 6C. Tapi 6C dibuat bahagia karenanya.
"Maaf, ya, Pak, karena yang tadi. Sebentar lagi kita bukan anak kelas 6 lagi, kok. Sebentar lagi kita SMP, jadi Bapak nggak usah capai-capai mengajar kita lagi. Bapak juga nggak usah capai-capai nanggepin kebandelan kita lagi," ucap 6C memohon.

2 komentar:

Berikan saran, kritik, dan komentar kamu tentang Diary 6C! Segala pesan yang kamu berikan sangat berarti bagi kami.