Kamis, 10 Maret 2011

Surat Cinta

Masih ingat PLK Seminar Pubertas di kelas 5? Disana dikatakan bahwa suka dengan lawan jenis adalah hal yang sangat wajar. Apalagi di usia-usia remaja.

Tapi, apa jadinya jika 6C yang selama ini berbicara tentang persahabatan, kini berbicara tentang cinta?

Bagaimana respon 6C ketika mereka mendapati dirinya telah menginjak masa-masa remaja? Akankah keceriaan mereka tetap ada? Akankah persahabatan mereka tetap terjalin? Baca sampai tuntas, ya!

Bel sudah berbunyi sejak 10 detik yang lalu. Dengan gesit, 6C keluar kelas. Tapi bukannya berbaris, mereka malah bersuit ria.
"Suuit," kata Kiki dan Tatid serempak. Tangan mereka sibuk membuat gunting-kertas-batu.
"Ikhwan, kok malah suit, sih?" protes Salsa.
"Iya, ini buat penentuan pemimpin barisan," jawab Kiki, tangannya masih sibuk bersuit.
"Yahh, lama. Kalau begitu kita baris duluan, yuk?" ajak Sasa kepada akhwat yang lain.
"Ayo, tapi siapa pemimpinnya?" tanya Dinda.
"Ahh, kalau pakai pemimpin lama. Kita langsung saja baris," kata Nisa.
"Hahaha, ayo," akhwat-akhwat itu pun setuju.

Kembali lagi ke barisan ikhwan, rupanya pemenangnya adalah Tatid. Tanpa menunggu apa-apa lagi, Tatid segera memimpin barisan ikhwan.
Belum sempat Tatid merapikan barisan itu, akhwat sudah masuk ke dalam kelas.
"Horee," sorak akhwat bangga, karena mereka berhasil masuk ke dalam kelas mendahului ikhwan.
Ikhwan yang ditinggal hanya menggerutu tak jelas.

Di dalam kelas, usai berbaris...
"Akhwat! Awas, ya. Besok pasti ikhwan duluan yang masuk kelas," ancam ikhwan.
"Ahh. Abal-abalan mana sih, ikhwan sama akhwat?" tanya Dinda merendahkan.
"Hahaha."

6C sedang asyik bergurau, ketika terdengar derap langkah orang dari kejauhan.
"Eh, siapa, tuh?" tanya Nia sembari mengintip keluar.
"Siapa, Ni?" tanya Salsa ikut heran.
"Bu Nia," jawab Nia.
"Woi, Bu Nia datang! Rapi, rapi!" komando Salsa.
6C pun merapikan diri masing-masing. Tepat sekali ketika Bu Nia membuka pintu dan masuk.

Matematika dimulai. Dilanjutkan dengan T2Q, dan istirahat.
"Jajan, yuk?" ajak Dinda.
"...," tak ada respon.
"Woi! Afi! Nipah! Halimah! Una! Ama! Jajan, yuk?" teriak Dinda kepada teman-temannya yang sedang asyik membaca buku. Afi membaca novel perjuangan Nabi, Hanifah membaca novel cerita rakyat dari luar negeri, Halimah membaca komik  ilmu pengetahuan, Husna membaca novel humor, dan Rahma membaca sebuah novel lain yang sepertinya tak kalah seru.
"Hah?" Afi, Hanifah, Halimah, Husna, dan Rahma menengadahkan wajahnya sejenak dari buku yang mereka baca, kemudian menggeleng kompak.
"Nggak, makasih."
"Ihh, dasar kutu buku!" Dinda hanya menggeram kesal, kemudian berlalu. Jajan sendiri.

IPS, kemudian dilanjutkan dengan istirahat. Ikhwan sudah menuju ke masjid sedari tadi.
"Apaan, nih?" tanya Hanifah, di tangannya terdapat selembar kertas kusut yang dilipat tiga.
Akhwat yang lain segera mendekat, mengerumuni Hanifah.
"Buka saja, Nip," usul Kalista.
Hanifah menurut. Dengan penuh perasaan, Hanifah membuka kertas tersebut. Namun, tiba-tiba raut wajahnya berubah kaget ketika membaca isinya.

Untuk yang aku suka, Hanifah...
Aku suka sama kamu, kamu suka sama aku, nggak?
Kamu jangan kaget, ini dari ***** dan *****.
Oh, iya, surat ini jangan kamu kasih tahu ke siapa-siapa, ya? Awas, loh! Hanya kita yang boleh tahu.
Balas, ya? Balasannya taruh di belakang papan tulis.
Dadah...


"Gawat, Nip. Kamu diteror! Sama 2 orang, lagi!" teriak Husna panik.
"Disini ditulis, 'surat ini jangan kamu kasih tahu ke siapa-siapa, ya?' Nah, kita kan tahu, gimana, dong?" tanya Halimah ikut panik.
"Tunggu dulu, jangan panik. Kita bisa selesaikan ini sama-sama," kata Salsa dengan bijak.
Mereka pun segera menenangkan diri.
"Nah, kita pura-pura saja nggak tahu apa-apa tentang surat ini," kata Salsa.
Akhwat yang lain mengangguk.

"Eh, lapor Bu Anis saja, yuk?" ajak Halimah.
"Jangan, kita kan sudah dewasa! Kita bisa pecahin semua masalah kita sendiri. Nggak boleh ada orang dewasa yang ikut campur!" tegas Salsa.
Yang lain hanya manggut-manggut. Meski merasa dirinya masih belum dewasa.

"Ini mirip tulisan Azzam," prediksi Ghina sambil memandangi kertas tersebut.
"Nggak, Azzam tulisannya kecil-kecil dan tipis-tipis," bela Zira.
"Kalau bukan, siapa, ya? Tatid?" tanya Nindi.
"Nggak mungkin, lihat nih, beda!" bela Husna sambil membandingkan tulisan di kertas itu dengan tulisan di buku tulis Tatid.
"Kalau begitu, siapa?" tanya mereka bersamaan.

Namun pertanyaan itu belum bisa terjawab hingga esok hari menjelang. Hanifah hanya menjawab surat itu secara singkat. Namun, Hanifah tidak menaruh surat itu di balik papan tulis, melainkan di lokernya sendiri.
"Kenapa taruh situ, Nip?" tanya Salsa heran, "bukannya disuruh taruh di belakang papan tulis?" lanjutnya.
"Nggak, ah. Malas banget. Lagi pula aku sebal sama dia. Siapa, coba?" balas Hanifah cuek.

Kemudian Bahasa Indonesia. Meresensi buku!

Hari Kamis yang penat, namun ceria ini berlalu setelah pelajaran Pak Muslim berakhir.
"Pak, pertemuan kita sekarang hanya 30 menit. Waktunya sedikit banget buat belajar. 6C langsung ke masjid saja, ya?" tanya Husna langsung ketika Pak Muslim baru masuk kelas.
Pak Muslim hanya memberikan respon tidak senang. Beliau memasang tampang kusut, kemudian menggeleng kecil.
"Ahh, Bapak," Husna merengek manja ketika mengerti maksud Pak Muslim.
"Hahaha,"

4 komentar:

Berikan saran, kritik, dan komentar kamu tentang Diary 6C! Segala pesan yang kamu berikan sangat berarti bagi kami.