Kamis, 27 Januari 2011

Husna Fadhilah Amalia

Tebak-tebakan, yuk! Siapa yang lahirnya di Delft, pada tanggal 16 Mei 1999? Iya, itulah Una. Lengkapnya Husna Fadhilah Amalia. Calon programer ini (amin), siswa teladan 6C yang pertama, loh! Online, bermain, dan tidur, itulah hobinya.

"6C itu seru, asyik, rusuh, kompak, lucu, cakep, cantik, ganteng, keren, imut, berisik, cerewet, convident, condusive, cooperative, lufreehc, cheerful, dan CERIA!" pendapat si penyuka warna hijau dan biru ini.

Sebenarnya, Husna ini banyak sekali prestasinya, tetapi tidak dikatakan olehnya. Hobinya banyak, namun hanya beberapa yang ia katakan. Selain online, bermain, dan tidur, hobinya masih ada yang lebih menarik, ia suka membaca. Dia sering sekali membaca buku, hingga buku-buku itu memenuhi rak buku dirumahnya. Saat ia di tes membaca cepat, ia menjadi pujian teman-temannya. Karena seringnya membaca buku, hingga ia memiliki pengetahuan yang banyak. 

Menurutnya, banyak teman-teman 6C yang ingin melanjutkan sekolahnya ke SMPIT Ummul Quro Bogor, maka itu, ia ingin melanjutkan ke sekolah yang sama. Una, yang sering online sampai 5 jam ini, banyak digemari teman-temannya, terutama akhwat.

"Una itu baik, cerewet, kalau saat pelajaran sering ngobrol, tapi kadang-kadang nyebelin, sudah itu saja," komentar Rahma.
"Una itu baik, gesit, jago bikin dan edit blog," tutur Safira.
"Una itu aneh, lucu, tapi kalau udah ngeledek suka bikin kesel," komentar Nindi.
"Lucu," hanya satu kata saja yang diucapkan Hanifah.
"Pintar semua pelajaran," komentar Zira.
"Una itu lucu, pintar, mau berteman sama siapa saja, kadang susah dikasih taunya! Haha, " komentar Sasa.

Sudah dulu, ya, tentang teman kita yang satu ini, back to Diary 6C!

"Matahari nggak adil," ujar Hanifah, Husna, dan Rahma kompak, sebelum mereka tergelak bersama, "hahaha."
Pagi itu, mentari memang bersinar dengan sangat terik. Meja-meja di kelas yang ceria itu terkena selarik cahaya dari matahari tersebut. Memang benar-benar cuaca yang cerah ceria, ya?

Maka, pada detik itu juga, Matematika dimulai, sebelumnya, 6C berdoa terlebih dahulu, berharap hari ini akan menjadi hari paling ceria yang pernah ada.
"Sikap berdoa," Bu Nia memimpin.
"Tangannya diangkat, kepala ditundukkan, berdoa dimulai."

Usai berdoa, Bu Nia memulai pelajaran Matematika tersebut.
"Apakah teman-teman membawa buku Detik-Detik UASBN?" tanya Bu Nia.
"Bawa, Bu," jawab sebagian besar anak 6C.
"Nggak, Bu," jawab sekitar 5 orang lainnya.
"Kenapa?" tanya Bu Nia kepada Nindi yang lupa membawa buku Detik-Detik UASBN itu.
"Lupa," jawab Nindi singkat.
"Kalau Husna? Kenapa nggak bawa?" tanya Bu Nia.
"Lupa juga, Bu," jawab Husna.
"Teman-teman yang lain, benar, kan, kemarin, Bu Nia menyuruh kalian membawa buku Detik-Detik UASBN ini untuk hari ini?" tanya Bu Nia.
6C, kecuali yang lupa membawa, mengangguk.
"Baiklah, Bu Nia maafkan. Kita sebagai manusia, lupa, memang hal yang sangat wajar. Tapi Bu Nia tidak mau memusingkan bagaimana solusinya untuk teman-teman yang lupa," kata Bu Nia.
Yang lupa membawa buku itu hanya bengong. Mereka bingung akan nasib mereka selanjutnya.

"Bu Nia, kenapa, sih, ini kan pelajaran Matematika, bukan Bimbel Matematika. Tapi kenapa harus bawa buku Detik-Detik UASBN?" tanya seseorang.
"Pertanyaan yang cerdas. Ya, hari ini kan pertemuan terakhir kita sebelum kita TO JSIT. Jadi, kita belajar TO. Supaya TO JSIT di pekan depannya bisa lancar," jawab Bu Nia.

"Oh, iya, Bu Nia mau mengatakan sesuatu kepada kalian," kata Bu Nia sebelum memberi tugas.
Berpasang-pasang mata segera menengok ke arah Bu Nia.
"Bu Nia kecewa. Kemarin sore, Bu Nia mengajar di kelas ini. Tepat pada jam pelajaran terakhir, ya, kan?" Bu Nia memastikan.
6C mengangguk.
"Dan, Bu Nia bilang, Bu Nia akan memperbolehkan kalian ke masjid jika tugas kalian sudah selesai dan sudah dikumpulkan," lanjut Bu Nia.
6C kembali mengangguk. Memang, semua yang dikatakan oleh Bu Nia barusan adalah benar.
"Tapi, masalahnya, ada 2 sampai 3 orang diantara kalian yang langsung kabur ke masjid sebelum menyelesaikan tugasnya," seru Bu Nia.
6C tergaket-kaget. Mereka melirik satu sama lain. Mencoba mencari muka siapa yang terlihat mencurigakan.
"Bu Nia tidak memaksa mereka untuk mengaku. Tapi tolong diingat, Bu Nia tidak mau menambah dosa Bu Nia dengan melalaikan anak didik Bu Nia. Bu Nia tidak mau ketika di dalam kubur nanti, Bu Nia ditanyai oleh malaikat, 'kenapa masih ada anak didikmu yang tidak mengerti tentang pelajaran?'. Jika kalian ingin bertanya, bertanyalah. Tak usah ragu. Apa kalian pikir Bu Nia ini galak?" tatapan mata Bu Nia nampak tegas, namun nada suaranya tetap tenang.
6C hening.
"Bu Nia yakin, pasti tak akan ada yang berani menjawab 'iya', atau 'tidak'," kata Bu Nia lagi.
6C masih tetap hening. Menanti kata-kata Bu Nia yang selanjutnya.
"Baiklah, Ibu harap kejadian kemarin tidak terjadi lagi. Kalian tidak usah mencari pelakunya, ya. Mari kita kembali ke Matematika. Kerjakan soal-soal di halaman yang ini, ya," Bu Nia mengalihkan pembicaraan, setelah itu beliau menuliskan tugas yang harus dikerjakan itu di papan tulis.

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 9, saatnya untuk memeluk Al-Quran, dan menggiringnya ke kelompok T2Q masing-masing.

Usai T2Q, saatnya untuk menyerbu kantin, alias istirahat. Kemudian, pelajaran PAI dimulai.
Pak Muslim masih mengajarkan tentang bagian Qada dan Qadar.
"Anak-anak, perhatikan, ya. Jangan sampai kalian tidak memperhatikan. Kalau tidak memperhatikan, nanti kalian akan bingung. Makanya perhatikan, ya! Jangan sampai tidak ada yang memperhatikan," kata Pak Muslim.
"Aduh, kok ngomongnya diulang-ulang, sih?" protes 6C.
"Ahh, pokoknya perhatikan saja, ya. Jangan sampai nggak ngerti, soalnya nanti waktu ulangan kalian bisa mencret-mencret, belajarnya susah," kata Pak Muslim lagi.
"Ihh, Bapak mah bilangnya mencret-mencret melulu dari kemarin," 6C protes lagi.
"Hahaha."

PAI yang lamanya hanya 1 jam pelajaran itu berakhir. Kini saatnya ulangan PKn.
"Ulangannya mudah, kok," kata Pak Eman sambil membagikan kertas ulangan.
"Pak, ini kok, habis nomor 10 langsung nomor 26? Sudah begitu, habis nomor 27 langsung nomor 30," protes Aris sambil memandangi kertas ulangannya.
"Eh, iya, salah. Maaf, ya. Soalnya Bapak bikin soalnya waktu malam-malam. Jadi sambil...."
"Sambil ngantuk-ngantuk, ya, Pak?" tanya Husna.
Pak Eman manyun.

Setelah ulangan PKn, sholat Dzuhur, makan siang, kemudian Bahasa Sunda.
"Bapak beri waktu 10 menit, cari 5 peribahasa dalam Bahasa Sunda. Boleh ke PSB, boleh ke perpustakaan, boleh tanya ke Pak Eman, tapi nggak boleh tanya ke Bu Nia dan Pak Fauzi," kata Pak Yuhdi.
6C segera keluar kelas. Mereka mencari guru yang bisa ditanyai. Dasar 6C, kompak. Kemana pun seorang pergi, yang lain pasti mengikuti.

Dari jauh, tampak Pak Mukhlis sedang mencari air. Beliau memegang sebuah gelas.
"Pak, bisa bahasa Sunda?" tanya 6C.
"Bisa," jawab Pak Mukhlis.
6C pun menyelesaikan tugasnya berkat Pak Mukhlis.

Usai Bahasa Sunda, saatnya 6C untuk simulasi. Karena dilapangan sudah dipasang tenda untuk SEMERBAK besok, maka 6C simulasi di depan Aula Yayasan.
Simulasi yang dilakukan akhwat 6C bagus sekali. Mereka menggunakan beragam properti yang banyak dan bagus-bagus.
Sayang, 6C tidak bisa mengendalikan tawa mereka. Jadi selama simulasi, mereka tertawa puas.
"Namanya juga 6Ceria, tetap ceria meski pun ada bencana alam yang menimpa mereka," kata Kiki.
"Hahaha. Setuju, Ki!" sahut yang lain.
Lihat saja Sasa dan Dinda yang berperan sebagai korban gunung meletus. Mereka menggunakan arang sebagai gosong karena abu vulkanik, dan Betadine (maaf promosi) sebagai luka. Husna dan Salsa juga, sebagai tim SAR, mereka menggunakan masker, slyer, senter, tas, dan masih banyak lagi. Untuk gunung meletusnya saja (yang terbuat dari kardus), mereka menggunakan tepung untuk abunya. Sayang, Bu Anis tidak setuju dengan adanya tepung itu. Kata Bu Anis, mubazir. Akhirnya, tidak jadi pakai tepung, deh.
"6C ganti julukan, jadi 6Cemong, bukan 6Ceria," kata Salsa yang mukanya dipenuhi abu vulkanik, maksudnya, arang.

2 komentar:

Berikan saran, kritik, dan komentar kamu tentang Diary 6C! Segala pesan yang kamu berikan sangat berarti bagi kami.