Selasa, 07 Juni 2011

Gagal Audisi

Pagi itu, langit biru dipadu dengan awan putih yang berarak di udara membuat hati 6C tenang.
"Ini, aku sudah buat scriptnya," kata Salsa seraya menyodorkan beberapa lembar kertas.
Akhwat 6C pun menyambut kertas tersebut, kemudian mereka berebutan membacanya.
"Panjang banget, Sal," komentar Rahma.
"Iya, nanti bisa dipendekin," kata Salsa.

Script tersebut adalah script untuk penampilan perkelas 6C. Rencananya, 6C akan tampil dengan konsep yang mirip sekali seperti tayangan Islam Itu Indah di Trans TV. Bukannya menyontek, tapi 6C memang suka sekali dengan gaya Ustadz Muhammad Nur Maulana di acara tersebut. Jadi mereka sepakat akan menampilkan itu.

Bel berbunyi. Dinda yang sedang membaca script terlonjak kaget.
"Aduh, sudah bel," gumam Dinda.
"Tenang saja, kita kan masuk jam 8," kata Sasa menenangkan.
Dinda mengangguk, lantas kembali melanjutkan bacaannya.

30 menit kemudian, Bu Ola menyuruh level 6 berkumpul di aula seperti halnya kemarin. Dan sesuai janji, Bu Ola pun mengajarkan gerakan untuk lagu Muslim Sejati.
"Bu, yang Hymne Guru pakai gerakan nggak?" tanya Ghina.
Bu Ola menggeleng.

Usai latihan, Bu Ola mempersilakan level 6 untuk melanjutkan diskusi kemarin. Yaitu diskusi tentang penampilan perkelas. Karena setelah berdiskusi, Bu Lia akan menyelenggarakan audisinya.

"6C, ayo ke PSB!" teriak Pak Yuhdi.
6C pun menurut, mereka mengikuti langkah Pak Yuhdi menuju PSB.

Di PSB, Pak Yuhdi memberi arahan-arahan tentang bagaimana agar penampilan 6C bisa disambut dengan baik oleh penonton.
"Nanti Aris bacanya yang lantang dan jelas, ya," pesan Pak Yuhdi kepada Aris.
Aris hanya mengangguk lemah. Entah kenapa, dia tampak tidak bersemangat sekali hari ini.

Usai berunding sejenak di PSB, 6C kembali ke aula. Disana, akhwat 6A sedang tampil. Mereka tampak semangat sekali menyanyikan lagu Bunga Seroja.

Usai 6A tampil, suara tepuk tangan terdengar membahana di seluruh ruangan aula tersebut.
"Sekarang kita sambut... 6D!" kata Bu Lia.
"Belum siap, Bu!" teriak Adil.
"Belum siap?" tanya Bu Lia.
"Iya," jawab Adil.
"Kalau begitu, kita sambut... 6B!" kata Bu Lia lagi.
"Belum siap juga!" teriak Ghifari.
"Masa belum siap juga?" tanya Bu Lia.
"Iya, Bu. 6C dulu deh, Bu," kata Ghifari.
Bu Lia akhirnya mengalah, beliau pun memanggil 6C.

6C tampak semangat sekali. Mereka maju ke depan aula, kemudian...
"Aris mana?" tanya Salsa.
"Di luar," jawab Dinda pendek.
"Ngapain?" tanya Salsa lagi.
"Lagi nangis," jawab Sasa.
"Nangis? Nangis kenapa?" tanya Salsa kaget.
Sasa mengangkat bahu, tidak tahu.

Menyadari Aris yang tak kunjung datang, Husna iseng mengintip lewat celah pintu aula. Siapa tahu Aris ada disana. Dan benar saja, Aris tampak sedang bersender di dinding. Sendirian. Dia sudah mengenakan peci dan sorban. Di tangannya terdapat script buatan Salsa.
Bolak-balik Aris mengusap matanya. Bibirnya bergetar.
"Ariiis! Aris kenapa? Jangan nangis!" teriak Husna rusuh.
Aris diam saja.
"Ihh, sebentar lagi kita tampil! Nggak ada lagi waktu buat nangis! Nangisnya nanti saja waktu selesai tampil!" bisik Husna.
Aris tetap tidak menjawab. Kini, air matanya sudah berjatuhan membasahi pipinya.
"Nangis karena apa, sih? Ngomong atuh!" teriak Husna. Tampaknya dia sudah mulai sebal.
Aris diam seribu bahasa. Dia hanya menyodorkan script buatan Salsa yang sedari tadi digenggamnya.
"Kenapa? Scriptnya kepanjangan, ya?" tanya Husna. Dia mencoba untuk mengerti perasaan Aris.
Tiba-tiba, Pak Yuhdi, Salsa, dan beberapa murid 6C lainnya berdatangan.
"Kayaknya kita nggak bisa tampil sekarang," kata Pak Yuhdi.
6C membenarkan perkataan Pak Yuhdi.

Akhirnya, 6C kembali lagi ke aula, disana, Pak Yuhdi menjelaskan tentang konsep penampilan 6C. 6A, 6B, dan 6D pun mengerti.

Aris adalah murid yang paling berjasa bagi 6C dibanding dengan ikhwan 6C lainnya. Dia sudah dipilih untuk membaca puisi, dan sekarang, dia dipilih untuk menjadi ustadz. Wah, betapa berat tanggungannya.
"Ikhwan! Kalian ini gimana, sih? Kalau Aris posisinya sudah sulit begitu, apa kalian tetap nggak mau gantiin dia? Dia itu udah disuruh baca puisi, disuruh jadi ustadz lagi!" teriak Salsa gemas.
Ikhwan 6C diam saja. Mereka pura-pura tidak mendengar.
"Ish!"

Beruntung, Aris segera pulih dari kesedihannya itu. Dia pun kembali ceria seperti biasanya.
"Aris siap baca puisi?" tanya Pak Yuhdi.
"Siap, Pak!" seru Aris semangat.
"Aris siap jadi ustadz?" tanya Pak Yuhdi lagi.
"Siap, Pak!" teriak Aris dengan senyum lebarnya. 6C pun lega melihatnya.

Sebelum pulang, Pak Eman berpesan kepada level 6, "audisinya kita undur saja, karena sepertinya kalian belum pada siap. Audisinya jadi hari Jumat saja, ya. Kalian boleh latihan di sekolah hari Rabu dan hari Kamis. Pakai baju bebas, boleh bawa barang-barang elektronik. Tapi tolong jangan berisik, ya, karena adik-adik kelas kalian sedang UAS."
Siswa-siswi level 6 mengangguk kompak. Selang beberapa menit kemudian, mereka pun membaca doa, lantas pulang ke rumah masing-masing.

Sebelum pulang, Pak Yuhdi menyuruh 6C berkumpul di belakang aula.
"Besok ke sekolah, ya! Kita akan latihan. Seperti kata Pak Eman tadi, pakai baju bebas!" kata Pak Yuhdi.
"Boleh bawa iPad nggak, Pak?" tanya Nevan.
Belum sempat Pak Yuhdi menjawab, murid-murid yang ceria itu langsung berkoor kompak, "huuu! Kayak punya saja, sihh!"
"Emang punya, kok!" teriak Nevan tak terima.
"Kalau begitu, besok bawa! Awas kalau nggak bawa!" ancam Ghina.
"Ayo!" Nevan sepertinya menanggapi tantangan Ghina tersebut. Dan kita lihat saja besok, apakah yang dikatakan Nevan itu benar? Atau... Salah?

1 komentar:

Berikan saran, kritik, dan komentar kamu tentang Diary 6C! Segala pesan yang kamu berikan sangat berarti bagi kami.